Monday, November 24, 2008

OPEN SOURCE


Pemakaian Open Source Masih Minim
Sejak dicanangkan pada 2004 dalam program Indonesia Go Open Source (IGOS), baru beberapa kementerian yang memakai aplikasi open source dalam sistem teknologi informasinya. Salah satunya adalah Kementerian Riset dan Teknologi.
Menteri Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, mengatakan, mereka sudah 100 persen memakai software legal, dengan rincian 90 persen software open source gratis dan 10 persen lainnya berbayar atau propietary.
"Perluasan penggunaan teknologi open source sangat penting karena akan mengatasi gap teknologi yang selama ini terjadi," ujar Kusmayanto pada acara Konferensi Asia Afrika tentang Open Source di gedung Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi, di Jakarta hari ini.
Hanya saja, kata sang menteri, selama ini banyak yang enggan menggunakan aplikasi terbuka karena berfikir bahwa teknologi itu sulit dan hanya digunakan oleh kalangan yang melek teknologi.
Tetapi, sebetulnya ada banyak keuntungan memakai software open source. Salah satunya adalah ia tersedia gratis. Salah satu peserta konferensi Herlambang Setiawan, 28 tahun, mengatakan, lebih memilih menggunakan alikasi open source di rumah. "Karena legal, free, dan tidak sulit. Menggunakan open source sebenarnya faktor kebiasaan saja, sama ketika pertama kali menggunakan Windows," ujar pegawai TI di Badan Pengawasan Tenaga Nuklir ini.
Tapi menurut Senior Vice President and Chairman Asia Pacific Sun Microsystem, Crawford Beveridge, keuntungan yang didapat konsumen, pengembang, dan pemerintah bakal jauh melebihi biaya.
"Dengan menggunakan Open Document Format kita bisa mengakses dokumen kita di masa depan puluhan tahun dari sekarang," ujarnya. Penggunaan software dan alikasi terbuka, lanjutnya juga memungkinkan masyarakat mengakses informasi ke situs pemerintah.
Selama ini, hal itu tidak mungkin dilakukan karena untuk mengakses informasi itu masyarakat harus membeli software yang harganya sangat mahal. Jika masyarakat dipermudah untuk mengakses situs emerintah, "Ini artinya tingkat keterbukaan suatu negara akan semakin tinggi," kata Beveridge.
Mengutip Komisioner Uni Eropa Neely Kroes, Crawford menambahkan jika teknologi terbuka semakin luas digunakan maka masyarakat atau perusahaan tidak perlu lagi dipaksa membeli software dari perusahaan tertentu hanya untuk mengakses informasi dari pemerintah.
Sementara Profesor A Min Tjoa dari Vienna University of Technology Austria mengatakan, teknologi open source akan mengatasi masalah biaya yang selama ini menghambat penerapan teknologi informasi, terutama di negara berkembang.
"Program ICT (Information and Community Technology) menjadi tidak efektif karena masalah biaya dan tingginya Total Cost of Ownership yang meliputi tingginya harga listrik, jaringan Internet, training, dukungan, perawatan, dan biaya-biaya lainnya," ujar A Min Tjoa.
Sebagai contoh, biaya yang harus dikeluarkan untuk memperkenalkan komputer di sekolah di India selama lima tahun adalah sekitar US$ 2.700 per siswa. "Meskipun kerangka kerja untuk penerapan ICT di bidang pendidikan sudah dibangun tetai persoalan lainnya belum dipecahkan," imbuhnya.
Karena itu A Min Tjoa melihat pentingnya penerapan teknologi open source yang akan jauh mengurangi biaya-biaya tersebut dari sisi software. "Keterbukaan teknologi dipastikan akan mempercepat perluasan ICT ke seluruh dunia," katanya mengakhiri.
Konferensi Open Source tingkat Asia Afrika ini digelar selama dua hari dan diikuti oleh 170 peserta dari 13 negara. Di antaranya adalah: Algeria, India, Iran, Jepang, Malaysia, Palestina, Afrika Selatan, Kuwait, Vietnam, serta pembicara-pembicara dari Amerika, Australiai dan Jerman.
"Open Source Software" (OSS), menurut Esther Dyson (1998), didefinisikan sebagai perangkat lunak yang dikembangkan secara gotong-royong tanpa koordinasi resmi, menggunakan kode program (source code) yang tersedia secara bebas, serta didistribusikan melalui internet. Menurut Richard Stallman (1998), budaya gotong royong pengembangan perangkat lunak itu sendiri, telah ada sejak komputer pertama kali dikembangkan. Namun ketika dinilai memiliki nilai komersial, pihak industri perangkat lunak mulai memaksakan konsep mereka perihal kepemilikan perangkan lunak. Dengan dukungan finansial yang kuat -- secara sepihak -- mereka membentuk opini masyarakat bahwa penggunaan perangkat lunak tanpa izin/ lisensi merupakan tindakan kriminal.
Tidak semua pihak menerima konsep kepemilikan tersebut di atas. Richard Stallman (1994, 1996) beranggapan bahwa perangkat lunak merupakan sesuatu yang seharusnya selalu boleh dimodifikasi. Menyamakan hak cipta perangkat lunak dengan barang cetakan merupakan perampasan kemerdekaan berkreasi. Semenjak pertengahan tahun 1980-an, yang bersangkutan merintis proyek GNU (GNU is Not Unix) -- dengan tujuan memberdayakan kembali para pengguna (users) dengan kebebasan (freedom) menggunakan dan mengembangkan sebuah perangkat lunak. Proyek ini memperkenalkan konsep copyleft yang pada dasarnya mengadopsi prinsip copyright, namun prinsip tersebut digunakan untuk menjamin kebebasan berkreasi. Jaminan tersebut berbentuk pelampiran source code, serta pernyataan bahwa perangkat lunak tersebut boleh dimodifikasi asalkan tetap mengikuti prinsip copyleft. Konsep dari proyek GNU ini lebih dikenal dengan istilah "free software".
Prinsip-prinsip free software tersebut memiliki banyak kesamaan dengan OSS. Namun menurut Richard Stallman (1998), free software lebih menekankan pada hal hakiki yaitu kebebasan mengembangkan perangkat lunak. Sedangkan menurut Eric S. Raymond (2000), OSS lebih menekankan aspek komersial seperti kualitas tinggi, kecanggihan, dan kehandalan. Dengan demikian, konsep OSS diharapkan lebih menarik perhatian pelaku bisnis, investor, dan bahkan para raksasa perangkat lunak. Bahkan Esther Dyson (1998) memperkirakan, bahwa raksasa seperti Microsoft pun akan memperhitungkan serta memanfaatkan OSS, seperti halnya mereka memanfaatkan internet.
Konteks pembahasan tulisan ini ialah posisi kelompok negara yang sedang berkembang dalam memanfaatkan OSS. Negara seperti ini terkadang diobok-obok oleh lembaga-lembaga dunia seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) dengan penunggangan agenda-agenda lain secara terselubung. Penunggangan tersebut umpamanya berupa pemaksaan sepihak, terhadap pengertian konsep Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dengan demikian, yang secara tidak langsung mereka telah menuduh masyarakat kita sebagai pembajak, pencuri, tidak bermoral, tidak menjunjung nilai etika, dan sejenisnya. Perlu diingatkan bahwa negara kita bukan satu-satunya surga perangkat lunak tidak berlisensi. Hal ini sudah mendarah daging di seluruh Asia. Kita hanya kalah melakukan public relation dalam hal pura-pura aktif melakukan pemberantasan. Bahkan di sebuah negara Asia Tenggara yang konon sudah "maju" dan "beradab", ditemukan perangkat lunak tanpa lisensi secara melimpah ruah.
Cikal Bakal Tradisi OSS
Sekilas telah terungkap perihal manfaat dari OSS serta potensi penyelesaian problema yang dihadapi oleh dunia ketiga. Namun selain tidak trivial, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengadopsian OSS tidak berjalan mulus di semua sektor. Bagian ini akan mengkaji rangkaian peristiwa yang pernah terjadi milenium yang lalu di Indonesia pada umumnya, dan Universitas Indonesia pada khususnya. Banyak kejadian pada saat tersebut yang tidak terdokumensi secara sistematis, sehingga pembahasan ini semata berdasarkan catatan pribadi (Samik-Ibrahim, 1998a, 2000a, 2000b). Namun, diharapkan sudah cukup untuk memberikan gambaran perihal rangkaian kejadian pada saat tersebut.
Hingga 1970an, perangkat keras komputer berbentuk main frame atau mini yang dikelola oleh sebuah tim yang eksklusif di dalam sebuah "ruang kaca" yang steril. Populasi komputer secara keseluruhan sangat sedikit berhubung harganya sangat mahal. Pemeliharaan instalasi komputer dipercayakan kepada agen pemasok (supplier), sehingga supervisi kepemilikan perangkat lunak dapat dilakukan secara relatif ketat. Walau pun demikian, terkandang para pemasok tersebut meminjamkan perangkat lunak tanpa seizin pemilik lisensi.
Tahun 1980an ditandai dengan kemunculan komputer Apple II berbasis 6502 /1 MHz dengan opsi tambahan prosesor Zilog Z80/ 2 MHz. Komputer ini menggunakan media penyimpanan disket yang mudah digandakan, sehingga memudahkan pendistribusian perangkat lunak Public Domain (PD) mau pun Shareware. Namun, media disket ini pun menyebabkan kehadiran perangkat lunak tanpa lisensi yang sering diberi istilah perangkat lunak bajakan.
Pola penggunaan perangkat lunak tersebut dilanjutkan pada saat kehadiran PC berbasis Intel 8088 (16 bit/ 4.77 MHz/ PC/MS-DOS), serta work-station unix berbasis Motorola 68k (32 bit). Jika sebelumnya bentuk pendistribusian dalam bentuk biner, pada sistem berbasis unix juga disertakan source code dari program tersebut. Selain dengan media magnetik, pendistribusian juga mulai dilakukan melalui jaringan secara online (ARPAnet), atau pun secara batch (usenet) dengan newsgroup seperti comp.source.unix, alt.source, dan sejenisnya. Penyertaan source code dan pendistribusian melalui jaringan ini merupakan cikal bakal tradisi OSS.
Tema penelitian bidang ilmu komputer pada era 1980an ini mencakup pemodifikasian dan pem-porting-an perangkat lunak jenis PD. Motivasi penggunaan PD ini tersebut bukan berdasarkan moral, melainkan kepraktisan belaka yaitu meneruskan/ mengikuti trend penelitian di luar negeri. Beberapa perangkat lunax yang digunakan pada waktu itu seperti GCC Compiler untuk Unix, UUCP, CNEWS 2.11, X.400 ean, Silicon Compiler, Cross Compiler (Modula 2, Pascal), UIUC Notes, dan lain sebagainya.